Slut-shaming x Victim Blaming

A woman brought you into this world, so you have no right to disrespect one- Tupac Shakur
“Kamu pake baju apa saat itu?” tanya seorang sahabat ketika sahabat perempuannya menceritakan bahwa ia baru saja mengalami pelecehan seksual.
“Udah denger gosipnya belum? Aku denger katanya...., kita hitung aja nanti tanggal nikahan sama lahirannya,” kicauan yang terdengar ketika menghadiri pernikahan seorang perempuan yang masih berkuliah.
“Gue denger dari temen sekelasnya dia cewe ga bener, ga jadi gue deketin deh”, kata seorang laki-laki yang gagal mendekati seorang perempuan di kampus.
“Kata temen gue, kok lu mau sama cewe bispak?”, cerita seorang laki-laki kepada perempuan yang disebut “bispak” tersebut.

Keempat kasus ini benar-benar saya temui, saya lihat, saya dengar, dan bahkan saya rasakan sendiri. Sebagai seorang perempuan, miris rasanya mengetahui bahwa di lingkungan saya yang katanya “berpendidikan” ini, masih banyak terjadi slut-shaming, yaitu perilaku dan kata-kata yang diucapkan dengan tujuan menghina, merendahkan, mengolok, mempermalukan, melecehkan individu yang kebanyakan adalah perempuan, karena perilakunya yang tidak sesuai dengan nilai dan kepercayaan yang berlaku di lingkungan tempat tinggalnya. Slut-shaming yang sering terjadi di lingkungan saya adalah melekatkan label “cewe bispak, murahan, gabener” kepada perempuan yang dianggap menyalahi norma tertentu.
Slut-shaming biasanya diikuti dengan victim blaming, seperti yang terjadi pada kasus perempuan yang menceritakan pengalamannya dilecehkan oleh seorang laki-laki kepada sahabatnya. Saya benar-benar tidak habis pikir, bisakah sejenak sahabatnya itu memikirkan keadaan psikologis si perempuan? Tidak berpikirkah ia, butuh keberanian seperti apa yang terkumpul untuk dapat menceritakan hal traumatik tersebut?
Berbicara mengenai pakaian, saya percaya tiap-tiap perempuan berhak dan boleh mengekspresikan tubuhnya sendiri. Kebebasan untuk mengekspresikan diri dalam bentuk pakaian yang kita pakai merupakan hak masing-masing individu dan tidak ada seorang pun yang boleh mencampuri apalagi melecehkan, hak ini tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Internasional yang apabila dilanggar berarti kita melanggar hak asasi manusia. Namun nyatanya, perempuan yang menjadi korban pelecehan dan pemerkosaan seringkali disalahkan karena caranya berpakaian. Seakan-akan penampilan seseorang memberikan legitimasi untuk melakukan pelecehan atau tindakan perkosaan. Padahal menyalahkan perempuan dalam kasus perkosaan sebenarnya adalah bentuk penghinaan terbesar bagi laki-laki. Logika yang menyebutkan bahwa salah perempuan diperkosa, karena tak bisa menjaga diri, menunjukan bahwa laki-laki lemah karena menjadi budak syahwat yang tidak berakal.
Lebih disayangkan, perilaku slut-shaming tidak hanya dilakukan oleh laki-laki. Kebanyakan justru kaum perempuan yang menghakimi dan memberikan stigma kepada sesamanya. Disini seakan terjadi persaingan “siapa lebih suci dari siapa”. Keperawanan menjadi tolak ukur sesuci apa seorang perempuan. Tapi tidak dengan keperjakaan.
Saya pernah berdiskusi dengan dua teman pria saya mengenai penting tidaknya keperawanan pada perempuan. Saya mengajukan pertanyaan, “kalau kamu deket sama dua perempuan, satunya kamu sayang dan nyaman banget, tapi gak virgin. Satunya lagi kamu nyaman aja, dan masih virgin, kamu bakal pilih nikahin yang mana?”, teman saya menjawab “yang masih virginlah, tapi itu disimpen buat nikah. Kalo buat pacaran ya lain lagi, namanya cowok tetep butuh kepuasan haha”. See? That’s horrible! Kebanyakan pria ia ingin mendapatkan perempuan baik-baik untuk menjadi istrinya, tapi sah-sah saja mencari kepuasan seksual pada perempuan yang dianggap “sudah tidak baik-baik”. Sangat menggemaskan.
Saya tidak membenarkan perilaku seks bebas, tidak pula menyalahkannya. Bagi saya, pengalaman seks setiap orang merupakan urusan pribadinya masing-masing. Saya percaya bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Saya percaya manusia selalu berproses. Maka, biarkanlah ia berproses. Let them learn from their own mistakes.
Kita (saya dan kalian) tidak punya hak untuk menghakimi kehidupan pribadi seseorang, terlebih melabeli seorang perempuan “bitch, whore, jalang, bispak, murahan” sebagai sesuatu yang wajar. Percayalah, hal tersebut tidak membuat kita lebih baik darinya, justru memperlihatkan kualitas kita sebagai si penghina.
Korban slut shaming dan victim blaming kerap mengalami goncangan jiwa yang berat, beberapa bahkan menginternalisasi ejekan dan penghakiman itu sebagai kebenaran, lantas justru membuat ia bertindak seperti apa yang dilekatkan padanya.  Jangan sampai kita menjadi penyebab seseorang terbunuh karena depresi. You know, your words are most powerful weapons that can safe or kill someone. Handle them carefully.
Kita boleh tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh teman perempuan kita. Kita boleh mengingatkan, tapi mohon, dengarkan ceritanya dahulu. Perhatikan keadaannya, rangkul ia. Terkadang yang dibutuhkan hanyalah untuk didengarkan. Dan percayalah, however it will make her better.
Mengingatkan dari segi agama, silahkan. Tapi ketahui jugalah bahwa tidak semua orang memiliki sikap keterbukaan yang sama terhadap nilai-nilai agama. Bimbing perlahan, bukan menakuti dengan dosa dan hukuman neraka. Tidak mudah memang memahami seseorang,  mengingat proses yang dijalani juga berbeda. Seperti salah satu quotes Harper Lee dalam novel To Kill a Mocking bird,
"Kau tidak akan dapat memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya..hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya....”

Comments

Popular posts from this blog

PKL : PT. ASTRA OTOPARTS divisi EDC (Praktek Kerja Lapangan / Kerja Praktek)

Review Film: Bad Genius (2017)

Looking for the Perfect Candidate?